
Garut, sebuah kota kecil yang kaya akan alam, budaya, dan sejarah, menawarkan banyak destinasi menarik bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Salah satu ikon utamanya adalah Cipanas, sebuah kawasan pemandian air panas alami yang bersumber dari Gunung Guntur.
Dengan letak yang strategis dan mudah diakses, Cipanas telah menjadi destinasi favorit, terutama saat musim liburan. Sejak awal abad ke-20, Cipanas sudah dikenal sebagai objek wisata populer, bahkan tercatat dalam berbagai dokumen era kolonial.
Cipanas dalam Catatan Wisatawan Barat
Pada dekade awal abad ke-20, Cipanas menjadi salah satu destinasi wisata yang digemari wisatawan Barat. Dalam bukunya In Het Hart der Preanger (1900), M. Buys menggambarkan perjalanannya dari Tarogong menuju Cipanas sebagai pengalaman yang menakjubkan. Jalur menanjak dengan latar pemandangan empat gunung besar yang mengelilingi Garut dari timur ke barat daya menciptakan lanskap yang spektakuler.
Dalam perjalanan, wisatawan disuguhi pemandangan deretan kolam pemancingan yang bertingkat mengikuti kontur tanah. Kolam-kolam tersebut digunakan untuk budidaya ikan seperti gurame, mas, nilem, dan deleg. Kegiatan ini bukan hanya menopang perekonomian warga, tetapi juga menunjukkan keharmonisan antara alam dan aktivitas manusia.
“Kami melihat uap mengepul di udara pagi yang sejuk dan tipis, bukti bahwa air di kolam-kolam tersebut masih cukup hangat…” – M. Buys, 1900
Beberapa pemilik kolam bahkan dikabarkan meraih penghasilan hingga 1.200 gulden per tahun, jumlah yang sangat besar pada masa itu.
Air Panas dan Segregasi Sosial di Masa Kolonial
Menurut In Het Hart der Preanger (1900) dan Trips In The Isle of Java (1910), sumber air panas Cipanas berasal dari lima titik di lereng Gunung Guntur, dengan suhu berkisar antara 38,9 hingga 41,9 derajat Celsius. Airnya kaya akan mineral dan belerang, sehingga dipercaya berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, seperti rematik dan asam urat.
Fasilitas mandi yang dibangun masyarakat sekitar terdiri dari enam kamar mandi bambu dengan bak dari batu bata yang dialiri air panas segar. Namun, di balik manfaat kesehatannya, Cipanas juga mencerminkan ketimpangan sosial di masa kolonial. Terdapat segregasi etnis dalam penggunaan kolam:
- Orang Eropa membayar 10 sen.
- Orang Tionghoa dan Pribumi masing-masing 5 sen.
- Mereka yang tidak mampu, hanya bisa berdiri di bawah pipa bambu untuk mandi gratis.
Pemisahan ini menunjukkan jelasnya perbedaan status sosial dan hak akses pada masa itu.
Modernisasi dan Kebangkitan Pariwisata
Dalam catatan Jubileum-verslag van den Regentschapsraad van Garoet 1926–1936, tercatat bahwa Cipanas mengalami pemugaran besar-besaran. Pemerintah kolonial meminjam dana sebesar 10.000 gulden untuk memperbaiki fasilitas: kolam besar ditutup dan dilapisi ubin porselen, bangunan akomodasi direnovasi. Hasilnya, pendapatan wisata naik hingga 800 gulden per bulan.
Setelah pemugaran, banyak tamu penting datang berkunjung, termasuk istri Gubernur Jawa Barat kala itu, J.B. Hartelust.
Tantangan Masa Kini: Menjaga Warisan dan Kelestarian
Kini, Cipanas tetap menjadi ikon pariwisata Garut. Namun, di balik kepopulerannya, kawasan ini menghadapi tantangan besar: menjaga keseimbangan antara perkembangan wisata, kelestarian lingkungan, dan pelestarian nilai sejarah.
Peningkatan jumlah wisatawan memang berdampak positif secara ekonomi, namun juga memicu masalah lingkungan seperti kerusakan alam dan tekanan terhadap ekosistem. Pembangunan infrastruktur yang pesat pun kerap berbenturan dengan upaya pelestarian budaya dan sejarah.
Penutup: Harapan untuk Masa Depan Cipanas
Cipanas bukan sekadar tempat berendam. Ia adalah saksi sejarah, simbol budaya, dan aset lingkungan yang berharga. Karena itu, pengelolaannya memerlukan kesadaran kolektif—dari pemerintah, masyarakat, hingga wisatawan—agar tetap lestari.
Dengan komitmen bersama, Cipanas dapat terus berkembang sebagai destinasi wisata ramah lingkungan, yang mampu menarik lebih banyak pengunjung tanpa mengorbankan nilai-nilai sejarah, budaya, dan alam yang terkandung di dalamnya.